Mengapa penutur Austronesia mengembara hingga Pasifik?


Dari First Islanders Peter Bellwood 2017
Pada awalnya tidak ada keinginan untuk menulis topik ini secara khusus, karena saya sudah menulis panjang lebar untuk Odyssey to the Far East. Maksud dari tulisan ini adalah untuk merespon tulisan Professor emeritus Peter Bellwood yang akan merilis buku terbarunya, The Five Million Year Odyssey – The Human Journey from Ape to Agriculture, beberapa bulan mendatang. Buku setebal 384 halaman ini akan membahas sejarah lima juta tahun perjalanan evolusi manusia mulai dari zaman hominids hingga era agrikultur, kira-kira 24 halaman lebih banyak dari buku sebelumnya, First Islanders: Prehistory and Human Migration in Island Southeast Asia. Isi buku First Islanders merangkum 2 juta tahun perjalanan sejarah manusia Asia Tenggara, mulai dari zaman hominins hingga era agrikultur. Saya menduga buku terbarunya tidak akan jauh dari First Islanders, mungkin dengan tambahan sedikit dari buku sebelumnya lagi, First Migrants.

Tetapi saya tidak akan membahas pandangannya dalam buku-bukunya tersebut, saya akan mengulas kontribusi Bellwood dalam Oxford Handbook of Early Southeast Asia, yang bicara tentang The Expansion of Farmers into Island Southeast Asia. Karena topik ini membicarakan sejarah manusia Indonesia, saya perlu mengulas pandangan Bellwood, menunjuk bagian mana yang sudah tidak sesuai dengan bukti-bukti terbaru, dan memberikan petunjuk di mana seharusnya para pembaca TFM mencari rujukan literatur yang dibutuhkan sebelum membaca buku terbaru Bellwood.

Isu penting dalam studi tentang ekspansi penutur Austronesia yang masih belum mendapat jawaban komprehensif adalah di mana para pengembara lautan tersebut berasal, siapa mereka secara genetik, budaya maupun bahasa, serta pertanyaan ‘mengapa mereka (nenek moyang penutur Austronesia) meninggalkan tanah air mereka untuk berlayar ke Pasifik?’ Sejak lama Bellwood berpendapat bahwa sebaran agrikultur, khususnya pertanian tanaman pangan seperti padi, dari Lembah Sungai Yangtze ke pesisir tenggara China (Fujian) dan meningkatnya jumlah populasi di daerah pesisir tersebut memainkan peran mendasar dalam penyebaran nenek moyang penutur Austronesia (dalam bukunya Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago, dan juga First Migrants).

Kemudian dalam bukunya First Islanders, 2017, Bellwood menegaskan bahwa “The hypothesis suggests that the vast majority of the modern Austronesian‐speaking populations of Island Southeast Asia, especially those with a recent Asian genetic heritage, share a common biological, linguistic, and cultural origin in a period of population migration from Neolithic southern China, through Taiwan, commencing around 5500 years ago. This is the “Out of Taiwan” hypothesis. At the present time, it has both supporters and detractors. (Bellwood cited the misinterpretation of Jared Diamond “Express Train” hypothesis)

The small island of Taiwan therefore played a fundamental role as a gateway for the movement of Neolithic populations, material cultures, and languages from southern China into Island Southeast Asia, as underlined by a new analysis of ancestry components in whole genomes across many Southeast Asian populations (Mörseberg et al.
2016). Even as I write, new data come to hand with surprising frequency supporting an Out of Taiwan origin for Malayo‐Polynesian‐speaking peoples. For instance, a major chloroplast DNA clade of the paper mulberry tree (Broussonetia papyrifera), source of an inner bark used across the Pacific Islands and much of Southeast Asia to make bark cloth, has recently been shown to be of Taiwan origin (Chang et al. 2015).”

Itu pernyataan resmi Bellwood lima tahun lalu, yang tentunya sudah agak berbeda dari hipotesis awalnya yang diusulkan sekitar lima dekade lalu. Saya sudah merangkum ulasannya di sini.

Apakah benar studi genome populasi penutur Austronesia saat ini mendukung hipotesis Out of Taiwan? Sebagaimana bisa kita lihat di sini, Bellwood menggunaan ‘whole genome‘ dan tidak lagi menggunakan Polynesian motif (data mtDNA) karena memang sudah tidak bisa digunakan sebagai bukti pendukung hipotesisnya (setelah Pedro Suares dan Andreia Brandão (2016) secara komprehensif menganalisis semua garis maternal penutur Austronesia dari Taiwan hingga Pasifik).

Soares dan Brandāo menguji hipotesis Out of Taiwan yang menggunakan data uniparental markers untuk mendukung ekspansi penutur Austronesia menuju kepulauan Pasifik dan juga kepulauan Asia Tenggara. Hasil kedua penelitian tersebut secara independen membantah skenario migrasi dari Taiwan berdasarkan garis maternal yang ada. Analisis DNA kuno di kepulauan Pasifik (Skoglund et al. 2016; Posth et al. 2018; Lipson et al. 2018) juga berkesimpulan, bahwa Polynesian motif (mutasi unik garis maternal yang hanya dimiliki wanita Polynesia, yaitu mtDNA haplogroup B4a1a1a) tidak mungkin berasal dari Taiwan.

Ketika para ilmuwan mulai melibatkan data DNA kuno, model pertama yang terkena imbas ketika arkeogenetik dilibatkan adalah express train-nya Jared Diamond, yang didukung oleh Bellwood. Petani jawawut tidak punya mutasi garis paternal B451 khas penutur Austronesia di Indo-Pasifik, dan pemburu Taiwan tidak memiliki mutasi np 14022 & 16247 sebagai prasyarat Polynesian motif. Fakta ini membuat Bellwood agak menggeser lokasi nenek moyang penutur Austronesia menjadi para penutur proto-Austronesia yang mendiami pesisir Fujian atau bagian tenggara China.

Dengan berpaling pada analisis Mörseberg et al. (2016) sebenarnya argumen Bellwood masih kurang kuat sebagai bukti pendukung karena hanya didasarkan pada data genetika populasi saat ini. Untuk menguatkan argumentasi genetika, Anda harus berpaling pada DNA kuno.

Pada tahun 2016, DNA kuno dari Pasifik (Teouma di Vanuatu, umur 3000 tahun) mulai dianalisis oleh Pontus Skoglund et al. (2016), dan pada tahun-tahun berikutnya mulai dianalisis juga DNA kuno dari periode Neolitik pesisir Fujian (Melinda A Yang et al. 2020), Kepulauan Asia Tenggara dan kepulauan Pasifik (Selina Carlhoff et al. 2021; Sandra Oliveira et al. 2021; Irina Pugach et al. 2021), yang semuanya membantah asal-usul First Remote Oceanians (Vanuatu dan Tonga, 2500-3000) dari Taiwan. For once, Bellwood, lihatlah komponen genetik FRO dengan referensi genome dari Neolitik Fujian, Man Bac, Hanben, Guam, Liang Bua Flores, dan kalau perlu genome Bessé’ dari Sulawesi Selatan. Jadi jangan hanya melihat analisis genetika yang sesuai dengan obsesi Anda terkait sebaran padi, atau kekerabatan kosakata beras/padi. Ini adalah bukti lemah. Sangat lemah. Pahami juga kekerabatan kelompok penutur Tai-Kadai, Austroasiatik, dan Austronesia.

oliveira2021Hasil analisis genome manusia Neolitik dan paleometalik Wallacea (dari pracetak Oliveira et al., 2021)

Data dari kelompok Neolitik Wallacea (Carlhoff et al. 2021; Oliveira et al. 2021) menutup peluang hipotesis Out of Taiwan sebagai sumber ekspansi penutur Austronesia dengan mengungkap sebagian komposisi genetik FRO di Vanuatu dan Tonga yang tidak terdeteksi pada kelompok etnolinguistik asli Taiwan. Komponen genetik ini merupakan komponen utama kelompok Polynesian saat ini (direpresentasikan oleh komponen genetik warna hijau mangga, juga didominasi garis paternal C1b3a1a-P33 yang berpasangan dengan garis maternal Polynesian motif). Dengan kata lain, komponen genetik proto-Polynesian tidak terdeteksi di Taiwan maupun bagian utara Filipina. Lalu bagaimana sebagian lagi komponen genetik FRO Lapita bisa berkerabat dekat dengan kelompok Neolitik pesisir Fujian?

yang2020cPeta keturunan genetik pada ancient northern East Asia (ANEA) dan ancient southern East Asia (ASEA) dari studi Yang et al. (2020). Selama periode Neolitik, ada pembagian garis keturunan antara Asia Timur utara dan selatan dari garis Qinling-Huaihe (garis abu-abu gelap di peta), tetapi saat ini, keturunan genetik yang sebelumnya hanya terlokalisasi di bagian utara dan selatan Asia Timur dapat ditemukan dalam frekuensi yang cukup besar di kedua wilayah.

Skenario yang bisa saya tarik dari data-data yang ada saat ini adalah para pelaut pesisir Fujian tersebut membaur dengan kelompok proto-Polynesia di Wallacea, sebelum melanjutkan pengembaraan sampai Pasifik. Kenapa sebagian komponen ini terdeteksi juga pada kelompok asli Taiwan? Karena mereka memiliki nenek moyang yang sama.

Jika Anda membaca tulisan terdahulu, data arkeologi mendukung bahwa petani Neolitik berbudaya Longshan migrasi ke bagian selatan Taiwan. Migrasi kelompok manusia dari Fujian ke bagian barat Taiwan terjadi sekitar periode 4500 tahun yang lalu, setelah dimulainya budaya Tapenkeng. Budaya ini yang memiliki kemiripan dengan budaya Huangguashan dari Lingnan-Fujian dengan tembikar ‘fine cord marked’ atau ‘red cord marked‘, yang kemudian juga mendapat pengaruh dari budaya Fujian lainnya, seperti Tanshishan dan budaya Shixia dari Guangdong (padi sangat populer pada budaya Shixia di perbukitan Guangdong). Selain difusi budaya, difusi demik juga merupakan fenomena yang umum terjadi ketika perubahan iklim yang ekstrim sedang terjadi. Ulasan komprehensif dari asal-usul budaya Neolitik Taiwan bisa Anda baca di buku Prehistoric Maritime Cultures and Seafaring in East Asia dari Chunming Wu (2019). Atau, yang lebih ringan sudah saya rangkum di aliansi pasif-agresif antara arkeologi, linguistik, dan genetika populasi di Taiwan.

alam2021

Ketika data genetika populasi tidak mendukung hipotesis Out of Taiwan terkait ekspansi penutur Austronesia ke Pasifik, apakah data budaya terkini juga bisa diharapkan? Ternyata tidak. Analisis genome padi kembali bersaksi bahwa padi yang dibudidayakan penduduk asli Taiwan ternyata campuran antara japonica iklim sedang dari Asia timur laut dan japonica tropis dari Filipina utara serta daratan Asia Tenggara. Dalam penelitian Genome Analysis Traces Regional Dispersal of Rice in Taiwan and Southeast Asia, dari Ornob Alam et al. (2021) mengindikasikan agrikultur di Filipina tidak secara langsung terkait dengan sebaran penutur Austronesia dari Taiwan. Skenario migrasi populasi Filipina berdasarkan data genome terbaru dari Maximilian Larena et al. (2021) mengungkap jejak keturunan genetik dari dataran Asia lebih dahulu mencapai Filipina sebelum waktu terjadinya hipotesis Out of Taiwan.

larena2021a

Larena et al. menemukan bahwa dalam individu Neolitik dari Fujian dan penutur Austronesia Taiwan saat ini terdeteksi percampuran dengan individu yang terkait dengan keturunan dari Lembah Sungai Kuning, pola yang tidak diamati pada kelompok Cordilleran dari bagian utara Filipina. Larena beserta kolega menggunakan pola ini untuk menyatakan bahwa kelompok Cordillera berasal dari peristiwa migrasi lain, mungkin melalui daratan Asia Tenggara (jalur Borneo-Palawan) sebelum ekspansi penutur Austronesia. Tentu skenario ini memukul telak relasi antara kelompok bagian selatan Taiwan dan bagian utara Filipina yang menjadi argumen utama Bellwood.

Rupanya, hasil penelitian Larena et al. (2021) dan Soares et al. (2016) membuat Bellwood berkomentar bahwa upaya memundurkan keberadaan moyang penutur Austronesia sebelum periode Neolitik (dengan menuduh supaya asal-usulnya berada di kepulauan Asia Tenggara) ini hanyalah upaya para ahli genetika untuk menjawab kenapa fenotip manusia pra-Neolitik kepulauan Asia Tenggara lebih mirip Australo-Papuans seperti yang disimpulkan Hirofumi Matsumura et al. 2019? Dalam bahasa sederhana, Bellwood mempertanyakan ‘kenapa fenotip manusia pra-Neolitik di kepulauan Asia Tenggara lebih mirip Australo-Melanesian jika memang benar mereka keturunan migran Asia Timur periode awal Neolitik?’ Well, pada dasarnya hampir semua manusia dari Paleolitik sampai awal Neolitik memiliki fenotip seperti Australo-Melanesia. Perubahan terjadi di Asia Timur setelah mereka mulai menetap dan hidup dari cocok tanam, sedangkan mereka yang masih berburu di wilayah tropis baru mengalami perubahan setelah kedatangan migran dari utara.

Di sini kita bisa lihat bahwa seorang Profesor emeritus arkeologi lebih memilih analisis morfologi tengkorak dibanding analisis genome. Argumentasi yang sangat tidak elegan. Kenapa dulu Bellwood ngotot dengan menggunakan Polynesian motif? Karena dulu belum ada kemampuan menganalisis DNA kuno. Lalu kenapa hanya Soares dan Larena yang dikritik memundurkan umur nenek moyang penutur Austronesia menjadi pra-Neolitik? Akan lebih memalukan jika Bellwood harus mengkritik analisis DNA kuno yang dia sendiri tidak memiliki bukti kuat untuk membantahnya. Lalu kenapa baru sekarang mengangkat analisis morfologi wajah untuk membantah analisis DNA? Apalagi yang bisa diandalkan selain itu? Apakah analisis Matsumura ini bisa diandalkan?

Cranial affities matsumura2018

Sekilas tentang Matsumura, ahli antropologi ragawi dari Sapporo Medical University, Jepang, dalam satu dekade terakhir menunjukkan bahwa keberadaan karakter morfologi Australo-Melanesian tersebar di Asia Tenggara hingga periode Neolitik. Matsumura mengungkap bahwa migrasi awal manusia modern di Asia Tenggara (“first layer”) adalah nenek moyang dari penduduk asli Andaman, Orang Asli Semenanjung Melayu, Negrito Filipina, Aborigin Australia, Papua Nugini, dan Jomon (penduduk asli Jepang), yang migrasi ke kepulauan Asia Tenggara sebelum 65000-50000 tahun yang lalu. Gelombang berikutnya (“second layer”) memiliki afinitas morfologi dengan orang Siberia dan penduduk asli Amerika (sumber populasi dari Northeast Asia), yang terbukti keberadaannya di China Tengah sekitar 9000 tahun yang lalu, kemudian menyebar ke Asia Tenggara sekitar 4000 tahun yang lalu. Namun, hasil akhirnya banyak terjadi tumpang tindih. Misalnya, karakter fisik manusia Liangdao menunjukkan Australo-Melanesian (first layer) tapi kemudian analisis genetika membuktikan sebagai bagian dari Asia Timur bagian Selatan (second layer), dan sebaliknya, Orang Asli dan Negrito Aeta berada satu klaster dengan populasi penutur Austronesia, yang bertentangan dengan hasil analisis DNA kuno. Manusia Man Bac yang 70% merupakan petani Yangtze dikelompokkan dengan Australo-Melanesian. Penduduk Nicobar yang secara uniparental markers merupakan populasi Asia Timur juga didapuk sebagai Australo-Melanesian.

oxford_handbook

Bagaimana posisi penggagas hipotesis farming-language dispersal (Out of Taiwan) ketika hipotesisnya tidak cukup bukti dan tidak mendapat dukungan dari data genetik/genomik? Menggeser posisinya dalam buku yang mungkin tidak akan Anda baca: The Oxford Handbook of Early Southeast Asia. Di sini, Bellwood berkontribusi dalam topik “The Expansion of Farmers into Island Southeast Asia” yang masih mengusung hipotesis yang telah terbantah bukti-bukti terbaru.

By 3000 BC, Island Southeast Asia was on the eve of a human migration with profound consequences. An Asian Neolithic population speaking languages ancestral to the Austronesian family entered Taiwan from southern China, bringing in a food producing economy, an incipient ocean-crossing technology, and a supine burial tradition sharply different from that of preceding mid-Holocene hunter-gatherers. This migration fanned out southward from Taiwan with advancing boat technology after 2200 BC, carrying through the Philippines and Indonesia the major Malayo-Polynesian (Extra-Formosan) subgroup of languages within the Austronesian family. It entered the Pacific Islands beyond New Guinea between 1200 and 1000 BC. The ultimate limits of Austronesian settlement were reached considerably later, for instance to Madagascar by AD 500 and New Zealand by AD 1300.”

Dalam tulisan di Oxford Handbook, Bellwood tidak mau mengulang argumentasi genetik maupun linguistik (karena memang tidak memiliki bukti dukungan yang kuat dari disiplin genetika), dia ingin menyodorkan argumen tentang empat faktor penting arkeologis yang tidak mempertimbangkan temuan terbaru, dan tetap diklaim secara virtual meyakinkan meskipun faktanya jauh dari kenyataan.

Pertama, Bellwood mengusung argumen “adanya paralellitas materi budaya antara 4200-3500 tahun lalu yang menghubungkan bagian selatan Taiwan dan Filipina, didukung oleh pergerakan artefak dari Taiwan dan nephrite dari Taiwan ke kepulauan Batanes dan Lembah Cagayan di bagian utara Filipina”. Padahal persebaran nephrite terjadi selama periode paleometalik (2500 tahun terakhir). Di bagian selatan Taiwan sendiri adalah daerah tujuan para petani jawawut dari Shandong, di lembah Sungai Kuning, mereka memperkenalkan budaya Longshan (black pottery culture), dan berkembang di bagian selatan Taiwan setelah 4500 tahun yang lalu. Sedangkan di bagian timur, keberadaan tembikar slip merah pada periode 3500-3000 tahun yang lalu (budaya Yuanshan), jauh lebih muda umurnya dibandingkan dengan waktu munculnya tembikar di bagian utara Filipina. Mungkin perlu melihat paralellitas tersebut antara pesisir Fujian dan Filipina.

Kedua, Bellwood berargumen bahwa “Taiwan memiliki prioritas kronologis terkait tipe artefak yang dimaksud, melibatkan kontinuitas sejak 5000 tahun lalu yang bisa ditambahkan sebagai bukti tertua keberadaan padi dan jawawut di kepulauan Asia Tenggara, termasuk domestikasi anjing dan babi.” Ini adalah klaim yang sudah terbantahkan oleh temuan dan analisis terbaru, seperti:

layos2022

Dua kemungkinan rute sebaran babi ke Kepulauan Filipina, satu dari wilayah Northeast Asia yang paralel dengan ekspansi Neolitik di kepulauan Asia Tenggara & Oceania, dan petunjuk lainnya dari daratan Asia Tenggara melewati wilayah Sunda menuju Palawan & Kepulauan Sulu, yang dianalisis dalam penelitian John King N. Layos et al. (2022), Origin and Demographic History of Philippine Pigs Inferred from Mitochondrial DNA

Dalam penelitian Ming Zhang et al. (2021), Ancient DNA reveals the maternal genetic history of East Asian domestic pigs, peneliti mengungkap bahwa domestikasi babi dari Lembah Sungai Kuning dengan cepat menyebar ke daerah lain di Asia Timur mengikuti migrasi manusia, bertepatan dengan perubahan iklim, adopsi tanaman pangan yang diperkenalkan secara luas, dan perkembangan masyarakat agraris. Tidak ada babi dengan penanda genetik Clade Pasifik yang tercatat baik di Taiwan maupun Filipina, yang menghalangi keduanya sebagai titik awal sebaran domestikasi babi menuju arah timur ke Pasifik.

Sedangkan analisis DNA kuno dari Ming Zhang et al. (2020), Ancient DNA Evidence from China Reveals the Expansion of Pacific Dogs, menunjukkan bahwa anjing-anjing di Pasifik pra-kolonial menyebar dari Lembah Sungai Kuning-Yangtze melalui daratan Asia Tenggara dan Indonesia menuju ke kepulauan Pasifik, kemungkinan bersama dengan sebaran kelompok yang berkerabat dekat dengan penutur Austronesia.

Ketiga, Bellwood mengklaim “tidak ada material budaya Neolitik sebelum 3500 tahun lalu di Indonesia. Dan motif tembikar slip merah yang dibahas di sini berasal dari Taiwan atau Filipina.” Pentingnya Anda melihat budaya Neolitik di pesisir Fujian adalah temuan fitolit padi dari Zhuangbianshan yang menempatkan cocok tanam padi awal di fase Tanshishan setidaknya 5000-4300 tahun yang lalu. Yang sangat relevan dengan temuan tersebut adalah temuan tembikar slip merah dari fase awal Tanshishan yang sangat mirip dengan temuan tembikar slip merah di hunian petani awal di Taiwan. Jadi, tembikar slip merah lebih dulu ditemukan di Tanshishan sebelum dibawa ke Taiwan. Dan tradisi ini juga dibawa ke lokasi lain di kepulauan Asia Tenggara.

Untuk bukti Neolitik di Indonesia kita harus melihat jejaknya di Borneo, setidaknya di Sarawak dan Sabah budaya Neolitik sudah ada sejak 4560-2460 tahun lalu. Di Loyang Mendale Aceh, budaya Neolitik tertua muncul 4400 tahun lalu (4800-3600 tahun lalu). Di Minanga Sipakko bersama dengan Mansiri di Sulawesi menghasilkan umur tembikar tertua sekitar 4550-3590 tahun lalu. Liang Bua dan Pain Haka di Flores antara 5000-2600 tahun lalu. Di Maluku sekitar 3740 hingga 3020 tahun lalu. Tembikar slip merah tidak ada relevansinya jika tidak memiliki motif dentate-stamped yang ditemukan di Pasifik dan Sulawesi. Berdasarkan bentuk dan variasi dekorasinya, tembikar Gua Topogaro dipengaruhi oleh dua tradisi: Sa Huynh-Kalanay dari daratan dan kepulauan Asia Tenggara serta tradisi Lapita yang berkembang di Pasifik.

Yang terakhir, argumen Bellwood tentang “absennya populasi pendahulu di kepulauan Batanes mengimplikasikan bahwa ada pergerakan manusia dari Taiwan, dan bukan pemburu-pengumpul yang mengadopsi budaya Neolitik.” Argumen ini dipicu oleh beberapa analisis DNA kuno yang membantah hipotesisnya. Dan juga merespon argumen Tim Denham yang selalu mengajukan adaptasi pra-Neolitik di kepulauan Asia Tenggara yang tidak terpengaruh oleh ekspansi penutur Austronesia. Hal ini bukan berarti mereka melanjutkan perjalanan menuju Pasifik, tanpa membaur dengan penghuni lokal Wallacea. Selain itu kita juga harus memastikan dengan analisis DNA kuno dari kepulauan Batanes. Jika relasi kedua lokasi ini bisa dibuktikan dengan genetik, selanjutnya membuktikan kekerabatannya dengan kelompok Neolitik di Wallacea dan Pasifik (yang ternyata tidak terbukti berdasarkan studi DNA kuno dari Wallacea).

yangfu2020

Jadi, argumen terakhir Bellwood tidak memiliki dasar yang kuat sebagai faktor penting yang mendukung alasan kenapa nenek moyang penutur Austronesia migrasi dari Taiwan.

Untuk menjawab asal-usul komponen genetik Austronesia, penelitian Melinda A. Yang dan Qiaomei Fu, dari Institute of Vertebrate Paleontology and Paleoanthropology di Beijing, bersama kolega (2020) menganalisis DNA kuno manusia Neolitik hingga periode sejarah (9000-300 tahun lalu), dan mengungkap bahwa kelompok proto-Austronesia berasal dari kelompok Neolitik di pesisir Fujian, yang direpresentasikan oleh manusia Neolitik Qihe (8400 tahun lalu), manusia budaya Tanshishan (4200-4500 tahun lalu) dan Xitoucun (4500-4600 tahun lalu), juga manusia Liangdao di Selat Taiwan (7500-8300 tahun lalu). Analisis genome juga mengungkap First Remote Oceanians (FRO, populasi berbudaya Lapita dari Vanuatu berumur 2900 tahun) memiliki komponen keturunan yang mirip dengan populasi pesisir Neolitik Fujian (terutama Liangdao), tetapi tidak dengan Aborigin Taiwan. Artinya, sumber populasi FRO bukan Aborigin Taiwan. Dan jika dibandingkan populasi saat ini, individu Vanuatu lebih dekat dengan populasi Dai (China Selatan) dibanding Aborigin Taiwan (Ami). Jika Anda mengikuti relasi antara populasi penutur Tai-Kadai dan Austronesia di Vietnam dan Kamboja, lebih masuk akal adanya jejak kekerabatan tersebut.

Akan lebih menguatkan lagi jika dalam mengungkap identitas genetik nenek moyang penutur Austronesia dilakukan dengan menggabungkan data-data dari kelompok Neolitik Fujian, first farmers di Man Bac, northern Filipina, Wallacea, dan Pasifik (Kep. Mariana dan Lapita di Vanuatu & Tonga). Sayangnya, dua kubu yang kurang akur menguasai data-data yang relevan tersebut.

guo2021Difusi demik dan budaya dengan usulan rute-rute ekspansi populasi di persimpangan Asia Timur dan Asia Tenggara (dari Guo et al., 2021). Perhatikan garis panah warna ungu, pergerakan penutur Tai-Kadai/proto Austronesia dan daerah cocok tanam padi

Hipotesis sebaran penutur Austronesia mengikuti sebaran pertanian/bahasa itu seperti pernikahan yang tidak bahagia antara studi linguistik, arkeologi, dan genetika yang masing-masing datanya dengan mudah bisa disalahgunakan (seperti dalam tulisan Farming-Language Dispersal di laman TFM). Memang tidak mudah mengurai sejarah pergerakan manusia masa lalu hanya dengan menggunakan data budaya yang parsial. Pergerakan para petani awal Neolitik ini hanya mungkin ditelusuri melalui perjalanan genome-nya (Jianxing Guo et al., 2021, dalam Genomic insights into Neolithic farming-related migrations in the junction of east and southeast Asia)

Kemudian tentang klaim data mulberry yang mendukung hipotesis Out of Taiwan, dijawab oleh penelitian Bárbara Peña-Ahumada et al., A tale of textiles: Genetic characterization of historical paper mulberry barkcloth from Oceania. Satu-satunya harapan Bellwood tentang hipotesis ekspansi penutur Austronesia dalam bukunya First Islanders (2017), bahwa tanaman mulberry (Broussonetia papyrifera) yang tersebar di Pasifik dan Kepulauan Asia Tenggara berasal dari Taiwan… pun menyusul kandas.

Ilmuwan lainnya juga sebenarnya sudah lama tidak setuju dengan Bellwood tetapi masih menekankan peran kegiatan ekonomi seperti perdagangan atau eksplorasi maritim. Misalnya, Tsang Cheng-hwa berpendapat bahwa adaptasi dengan kehidupan maritim, bukan pertanian padi, yang memungkinkan para kelompok penutur proto-Austronesia untuk melanglangbuana sampai ke Pasifik (Cheng-hwa Tsang, 1995, “New Archaeological Data from Both Sides of the Taiwan Straits and Their Implications for the Controversy.”)

Sedangkan K.C. Chang sebaliknya lebih percaya bahwa keinginan untuk berdaganglah yang memotivasi penjelajahan laut para penutur Austronesia (K.C. Chang and Ward H. Goodenough, 1996, “Archaeology of Southeastern China and Its Bearing on the Austronesian Homeland.”)

Untuk menguji hipotesis ini, kita harus memeriksa catatan arkeologi terkini tentang kegiatan ekonomis kelompok Neolitik di pesisir tenggara China, seperti Fujian dan Guangdong. Untuk menilai sejauh mana agrikultur atau adaptasi terhadap kehidupan maritim berdampak pada ekspansi penutur proto-Austronesia, kita perlu memeriksa secara sistematis pola penghidupan dan strategi subsistensi kelompok ini.

wu2021

Selama dua dekade terakhir, para peneliti telah mencoba untuk menjawab masalah ini dengan mengumpulkan bukti-bukti secara sistematis terkait dengan penghidupan dari situs Neolitik utama di pesisir pantai Fujian. Bukti-bukti secara komprehensif bisa kita lihat bersama dalam “The Prehistoric Maritime Frontier of Southeast China – Indigenous Bai Yue and Their Oceanic Dispersal” dari Chunming Wu, 2021. Buku penting yang wajib dibaca!

Penyelidikan arkeologis telah menunjukkan bahwa nenek moyang kelompok Neolitik pesisir Fujian sangat aktif dalam pelayaran Neolitik mulai dari pelayaran pesisir hingga pelayaran laut bebas, menunjukkan pola hunian maritim prasejarah yang kecil tapi tersebar di pesisir Asia Timur setidaknya sejak 7000 tahun yang lalu.
Seperti di pantai timur, budaya Neolitik Hemudu dan Liangzhu dari 7000 hingga 4000 tahun yang lalu menyebar melintasi selat hingga ke kepulauan Zhoushan, yang menggambarkan keberhasilan perkembangan bentang laut Neolitik dan perluasan eksplorasi laut bebas dan lalu lintas maritim nenek moyang prasejarah Yu Yue. Di pantai barat Selat Taiwan yang berpusat di sekitar hilir Lembah Sungai Minjiang, ratusan situs timbunan cangkang kerang Neolitik yang padat ditemukan di sepanjang pantai dan di pulau-pulau dekat pantai seperti Mazhu, Pingtan, Jinmen, Dongshan, dan lain-lain, berbagi rangkaian budaya Neolitik yang sama dari budaya Keqiutou —Tanshishan —Huangguashan — Huangtulun, mencerminkan perkembangan dan kontinuitas budaya maritim Min Yue dari 8000 hingga 3000 tahun lalu.

Apa bukti keahlian dalam melaut kelompok proto-Austronesia sebagai modal yang bisa diandalkan untuk melintasi lautan Asia-Pasifik? Penemuan kano berusia 8000 tahun di situs Kuahuqiao di hilir Sungai Yangtze China. Dugout canoe adalah kandidat pertama yang dipertimbangkan oleh para sejarawan sebagai alat pelayaran primitif periode Neolitik. Meskipun sisa-sisa sampan Neolitik dan zaman kuno telah ditemukan di bagian tenggara China, para arkeolog berspekulasi kemungkinan penerapannya dalam pelayaran primitif masih kurang aman. Tentu saja kano ini terus berkembang hingga bisa digunakan untuk pelayaran jauh. Tetapi masih terbuka kemungkinan pelayaran primitif ini dilakukan dengan menyusuri pantai (coastal hugging) sampai mereka mengembangkan sampan bercadik sekitar 3500 tahun lalu. Ketika berasumsi dalam 1000 tahun nenek moyang penutur Austronesia mampu berlayar sejauh 8000 km, Bellwood tidak mempertimbangkan proses perkembangan perahu bercadik. Dari petunjuk data genetik, sebagian nenek moyang populasi Pasifik berasal dari daerah segitiga Sabah-Sulu-Sulawesi, diduga perahu bercadik dikembangkan di daerah ini, yang merupakan daerah hunian orang Sama Dilaut atau Bajau. Tradisi Poluto di Pasifik terkait dengan daerah asal nenek moyang mereka di sebelah Barat Pasifik. Tradisi ini juga terkait dengan perahu kayu (bulotu) di sekitar Sulawesi Utara.

Kuahuiqiao canoe

Hasil investigasi arkeologi mereka bersama dengan temuan-temuan baru lainnya telah memberikan bukti baru untuk mempelajari transformasi pola subsistensi kelompok Neolitik di bagian tenggara China.

Dengan hunian awal pesisir pantai mulai terdeteksi sekitar 8300 tahun lalu, pola subsistensi yang mengandalkan sumber daya maritim/akuatik mulai berkembang di sepanjang pesisir tenggara China. Pertanian dan peternakan mungkin masih dilakukan, tetapi tidak memainkan peran penting dalam perekonomian kelompok Neolitik tersebut. Contohnya, baik situs Daowei I dan Daowei II adalah undukan kerang, menunjukkan sumber daya laut adalah makanan utama bagi manusia Liangdao sekitar 7500-8300 tahun lalu (Z.Y. Chen, “Liangdao Man and Related Issues in the Study of Austronesians.”)

Penemuan butir padi di situs Dapingding menunjukkan bahwa cocok tanam padi dilakukan oleh beberapa kelompok di pesisir sekitar 7000 tahun lalu, tetapi tingkat produksinya kemungkinan sangat rendah. Investigasi di situs Keqiutou menunjukkan bahwa hingga 5000-6000 tahun lalu, kelompok Neolitik di pulau-pulau lepas pantai terus bergantung pada subsistensi maritim (Tianlong Jiao, 2007, The Neolithic of Southeast China.)

Pola subsistensi maritim ini terus berkembang selama periode pertengahan Neolitik (5000-4300 tahun lalu). Investigasi di situs Damaoshan menunjukkan bahwa kelompok Neolitik lepas pantai masih mengandalkan sumber daya laut, dan beberapa dari mereka mungkin telah menjadi nelayan khusus tanpa bercocok tanam. Bukti arkeologis dari situs Tanshishan dan situs Xitou menunjukkan bahwa kelompok Neolitik di daratan sekitar pesisir juga sangat bergantung pada sumber daya laut dan mencari makanan daratan. Data DNA kuno dari kedua situs tersebut memiliki kekerabatan dengan petani Man Bac sekaligus para pelaut Austronesia (lihat studi Melinda Yang et al. 2020)

Namun, strategi penghidupan ini berubah secara signifikan selama periode akhir Neolitik (3500-4300 tahun lalu). Bukti dari beberapa situs menunjukkan bahwa ekonomi mereka merupakan kombinasi dari pertanian, berburu dan mengumpulkan sumber daya laut. Pertanian mungkin menjadi lebih penting, seperti yang ditunjukkan dari penyelidikan arkeologis di situs Huanggushan.

Adanya fitolit padi pada setiap lapisan dan ditemukannya bulir padi jelas menunjukkan bahwa kelompok Neolitik Huanggushan adalah petani. Penemuan biji-bijian jelai, gandum dan jawawut menunjukkan bahwa sumber makanan mulai beragam. Ada kemungkinan bahwa kelompok Huanggushan membudidayakan tanaman ini, tetapi jumlahnya yang sedikit menunjukkan bahwa mereka mungkin masih melakukan barter dengan kelompok lain. Sementara itu, kelompok Huanggushan juga terus memancing dan berburu.

Apa implikasi dari pola penghidupan seperti ini untuk studi tentang sebab musabab kelompok penutur proto-Austronesia meninggalkan tanah airnya? Tidak ada bukti arkeologis yang menunjukkan bahwa pertanian padi memainkan peran penting di pesisir tenggara China periode Neolitik. Jumlah hunian yang masih sedikit, menunjukkan kepadatan penduduk yang tidak pernah mencapai jumlah tinggi. Karena itu, model tekanan populasi agraris yang diusulkan Bellwood tidak didukung oleh catatan arkeologis. Data yang tersedia juga tidak mendukung model perdagangan maritim yang diusulkan oleh K.C. Chang. Iklim ekstrim pada 4200 tahun lalu sangat berpengaruh terhadap pergerakan manusia, baik dari para petani Yangtze yang menuju bagian utara Vietnam (Man Bac), maupun para petani dan pelaut di pesisir Fujian yang mulai pindah ke Taiwan, ke pesisir Vietnam, terus ke Borneo, Kepulauan Sulu, Filipina, Sulawesi, dan seterusnya. Taiwan hanya salah satu tujuan.

Dengan demikian, data yang tersedia menunjukkan bahwa kelompok Neolitik di pesisir pantai ini beradaptasi dengan baik dengan kehidupan maritim. Masuk akal untuk menyimpulkan bahwa eksplorasi maritim setelah terjadi perubahan iklim yang ekstrim (4.2k event) bisa jadi menjadi sebab utama awal ekspansi penutur proto-Austronesia, bukan karena ingin mencari lahan baru untuk cocok tanam. Namun, mekanisme ini bisa saja berubah pada akhir periode Neolitik ketika pertanian dikembangkan lebih lanjut (cocok tanam padi basah beserta teknik irigasi yang mulai setelah 2500 tahun lalu). Periode ini dikenal dengan paleometalik atau zaman Perunggu.

Apakah kita menjumpai jejak para petani Neolitik di kepulauan Pasifik? Tidak. Lalu kenapa masih memaksakan hipotesis farming-language dispersal? 🤷🏽

2 responses to “Mengapa penutur Austronesia mengembara hingga Pasifik?

  1. Ping-balik: LELUHUR KITA – Mpu Nusantara·

  2. Ping-balik: Genetika Menjawab Aliansi Pasif-Agresif Arkeologi Dan Linguistik II | The Forgotten Motherland·

Tinggalkan komentar